[Sambungan dari tulisan sebelumnya]
.
1991
Saya kuliah di Elektro UI Depok. Kebetulan sempat aktif di dunia kemahasiswaan, di Senat Mahasiswa dan Ikatan Mahasiswa Elektro. Juga di beberapa kepanitiaan, radio teknik, jurnalistik kampus, dan pernah menjabat Pemred majalah kampus Teknik.
Di masa kuliah itu, mata saya terbuka terhadap kondisi politik dan sosial ekonomi Indonesia. Pergerakan mahasiswa terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru makin marak. Sempat beberapa kali ikut demo turun ke jalan. Dan juga bersama-sama teman-teman Elektro mendirikan operet parodi yang mencoba menyuarakan kepedulian kami. Secara halus tentunya.
Kami sudah muak dengan belenggu-belenggu yang diciptakan saat itu. Tidak ada kebebasan berpendapat. Beberapa media massa dibreidel. Kegiatan masyarakat di berbagai bidang atau pementasan seni budaya, bisa dibatalkan atau dilarang seenaknya. Aktivis diciduk itu sudah biasa.
Sekarang kita bisa mencela-cela presiden kita via Twitter atau Facebook. Jaman itu jangan harap. Kalau saja masa itu sudah ada media sosial, mungkin akan diblok oleh mereka.
Korupsi, kolusi dan nepotisme dibudayakan secara masif dan merata. Di segala bidang, di segala lapisan. Penegakan hukum persis seperti idiom pisau, tajam ke bawah tumpul ke atas.
1996
Saya lulus kuliah dan Alhamdulillah diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan engineering asing bidang oil & gas. Selain itu, di hari dan jam tertentu, saya juga merangkap sebagai penyiar di Radio MS Tri, radio swasta yang dikelola oleh Universitas Trisakti.
Ini agak lucu. Saya sebenarnya pendiam. Makanya ayah saya heran kok saya bisa direkrut sebagai penyiar radio. Saya jawab singkat, “Soalnya dibayar”. Hehe.
12 Mei 1998
Hari itu saya ada jadwal rekaman untuk siaran. Saya tiba di Kampus Trisakti kira-kira setelah Isya. Saya merasa ada yang aneh saat memasuki gerbang. Biasanya gerbang terbuka lebar, saat itu cuma dibuka sedikit. Hanya cukup untuk satu orang berjalan masuk. Suasana agak gelap dan mata terasa perih. Hati saya makin bertanya-tanya. Begitu sampai di studio MS Tri yang terletak agak di dalam, saya melihat kondisi berantakan. Orang-orang riuh rendah lalu lalang. Langsung saya tanya pada rekan-rekan radio. Mereka menceritakan kejadian di tempat itu sepanjang siang dan sore, yang kemudian tragedi itu menjadi salah satu bagian dari sejarah kelam bangsa ini. Dan mata perih yang saya rasakan di depan tadi, ternyata itu sisa-sisa gas airmata yang ditembakkan.
Menurut cerita mereka, beberapa mahasiswa yang tertembak tadi, sempat dievakuasi ke dalam studio radio, karena letaknya yang terlindungi.
Dan saat itu, juga masih ada satu rekan penyiar wanita yang juga mahasiswa Trisakti yang cedera karena tergencet pagar. Karena keterbatasan tenaga pria yang dipercaya, akhirnya malam itu saya menemani teman radio mengantar rekan tersebut dengan ambulans ke Rumah Sakit Carolus, kalau saya tidak salah ingat.
Setelah kondisi rekan tersebut aman, saya dipersilakan langsung pulang oleh teman radio. Sepertinya itu memang pilihan terbaik dibanding balik ke studio.
.
[Bersambung ke Bagian-2]