Sebaik-baik Manusia

Beruntung sekali kemarin pagi sempat membaca tulisan bagus Samuel Mulia berjudul “Yang Terabaikan” di kolom Parodi Kompas Minggu. Dia menulis, sempat menonton Oprah Show yang membahas orang-orang dengan pekerjaan ‘kotor’, yaitu tukang sampah dan tukang bersih WC umum. Dia merasa bersyukur memiliki pekerjaan yang lebih baik dari orang-orang tersebut. Tapi sebaliknya juga merasa menyesal, betapa selama ini dia melewatkan orang-orang yang ternyata telah berjasa besar dalam hidup kesehariannya.

Dia tertarik dengan orang-orang di acara itu yang  tidak hanya mau melakukan pekerjaan tersebut, tapi juga melakukannya dengan sukacita.

Tayangan itu membuat dia tersetrum, betapa dia selama ini ternyata kurang bersyukur atas pekerjaan yang dia jalani. Dan juga membuatnya menangis karena tidak pernah memasukkan orang-orang seperti itu ke dalam daftar doanya.

Kebetulan (menurut guru Saya, sebenarnya tidak ada yang ‘kebetulan’ dalam kamus Tuhan. Semua kejadian dibuat untuk kita berpikir, menghubungkan dan menarik kesimpulan dan hikmah dari kejadian-kejadian tersebut), saya membaca tulisan itu, tepat saat Saya mengaso setelah menyapu, mengepel dan menyiram tanaman, sembari mengawasi anak-anak yang masih balita bermain, sambil sesekali menyuapi mereka sarapan kecil. Hal seperti ini selalu berulang tiap tahun di rumah tangga kami saat-saat Lebaran seperti ini. Saat para mbak staf rumah tangga kami mudik.

Saat-saat seperti ini baru terasa betapa berjasanya mereka. Yang telah mengambil alih pekerjaan-pekerjaan rumah yang kita delegasikan, sehingga kita bisa melakukan hal-hal yang lebih produktif dengan lebih efektif dan efisien.

Dan seperti di tulisan tersebut, kita tidak memasukkan si mbak-mbak, dalam doa-doa kita. Juga orang-orang yang telah berjasa pada keseharian kita, tapi secara kasat mata, jasanya tidak kita perhatikan. Seperti tukang sampah, janitor pembersih WC, office boy, dan lain-lain. Kita terlalu sibuk dengan list doa permintaan pribadi kita yang sudah sangat panjang.

Kebetulan juga, sejak Senin hingga Jumat kemarin, Semerbak Coffee diambil gambar untuk program teve tentang profil usaha kecil menengah yang dibuat oleh Kementrian Koperasi dan UKM. Saya dan partner saya Iwan Agustian, melakukan syuting hampir full empat hari berturut-turut. Kenapa harus sampai empat hari? Karena acaranya nanti berdurasi 30 menit, jadi diperlukan banyak gambar dan adegan, sejak mulai awal ide dan pendirian Semerbak Coffee, sampai kondisi saat ini.

Saat syuting itu, saya flashback ke masa dua tahun lalu, saat Semerbak Coffee didirikan. Awalnya semua hal kami lakukan sendiri, dari mengurus booth, membeli peralatan di pasar tradisional seperti blender, dispenser, juga cup plastik. Menangani administrasi, menjawab pertanyaan-pertanyaan calon mitra, melalui telpon, email, atau YM.  Menagih pembayaran, melakukan pembayaran, mengurus keuangan. Mencari ekspedisi, melakukan pengiriman, dan lain-lain. Yang Alhamdulillah, saat ini banyak pekerjaan-pekerjan yang sudah bisa kami delegasikan kepada tim kami. Sehingga kami bisa lebih fokus ke hal-hal yang bersifat strategis dan manajerial, juga pengembangan usaha.

Nah sama seperti di awal tadi, kita kadang juga suka lupa dengan peran orang-orang di tim kita, yang sudah mengambil alih tugas-tugas kita, sehingga kita bisa lebih efisien dengan tugas utama kita.

Dan juga seperti Samuel Mulia, kita kadang kurang bersyukur atas apa yang kita kerjakan saat ini. Entah sebagai pengusaha, apalagi sebagai karyawan. 15 tahun saya bekerja sebagai karyawan, banyak sekali saya temui rekan-rekan yang mengeluh dengan pekerjaannya yang sekarang (jangan-jangan orang lain melihat saya juga seperti itu ya.. hehe). Padahal kalau kita mau melihat kepada mereka dengan pekerjaan-pekerjaan jenis tadi –kita kadang menggolongkan pekerjaan ‘rendah’– pekerjaan kita jauh lebih enak dan nyaman.

Memang di dunia ini setiap manusia punya peran masing-masing. Dan mau tidak mau kita harus mengakui bahwa kita saling berketergantungan dengan peran-peran lain dalam kehidupan kita. Contoh ekstrim, misalkan tukang sampah di kompleks perumahan kita mogok kerja selama dua bulan, bisa dibayangkan seperti apa sampah yang menumpuk di depan rumah. Atau office boy di kantor kita mogok kerja selama sebulan, bakal repot kan kita? Atau contoh nyata ya… seperti musim mudik sekarang ini. Keseharian kita menjadi kacau karena ditambahi pekerjaan-pekerjaan kita yang tadinya ditangani oleh staf rumah tangga kita.

Jadi sekarang, apakah kita masih merasa peran atau pekerjaan kita lebih baik atau lebih mulia dibanding orang-orang tadi, staf rumah tangga, office boy, tukang sampah, tukang bersih WC?

Mungkin ini ya, salah satu esensi ‘kembali ke fitrah’ dari fenomena mudik di Idul Fitri ini. Mudik, berasal dari kata udik atau kampung. Mudik, kembali ke udik, kembali asal, ke orang tua dan keluarga yang melahirkan dan membesarkan kita. Sedang bagi yang tidak mudik, seperti saya, kembali ke asal juga, kembali mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tadinya sudah kita delegasikan ke orang lain. Supaya kita menyadari bahwa semua peran yang ada adalah penting dan saling ketergantungan.

Yang terpenting adalah bukan apa peran yang kita lakoni di dunia ini, tapi apakah peran kita membawa manfaat untuk orang lain. “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain” – Nabi Muhammad saw.

Depok 29 Agustus 2011

Muadzin F Jihad

Owner Semerbak Coffee

Twitter @muadzin

Leave a comment