Adalah Moana, putri raja dari suku Motunui yang berdiam di sebuah pulau kecil Polynesia. Putri ini sejak kecil sangat passionate dengan laut, sangat berbeda dari anak-anak sebayanya. Bahkan bertolak belakang dengan sang ayah, Chief Tui, yang melarang Moana sejak kecil untuk mendekati laut. Dan dia juga melarang penduduk untuk menjala ikan di laut lepas, melewati batas karang besar yang melindungi pulau.
Moana dekat sekali dengan sang nenek, Tala, yang senantiasa berkisah tentang masa lalu leluhur mereka. Ternyata nenek moyang mereka adalah para pengarung laut yang tangguh. Makanya tidak heran, kalau Moana selalu terpanggil untuk melaut.
Ya, kami sekeluarga kemarin sore nonton bareng film animasi keluaran terbaru Disney, Moana. Karena putra terkecil kami, 6 tahun, sudah sejak beberapa hari menagih untuk menonton film tersebut. Seperti biasa, saya tidak memiliki kapasitas untuk meresensi film, saya hanya ingin berbagi poin menarik dan menyentuh dari film tersebut.
Singkat cerita, datanglah suatu masa di mana panen di seluruh kampung tersebut rusak, dan ikan-ikan tangkapan di sekitar pantai menghilang. Masyarakat menuju kelaparan dan kehancuran. Kegelapan menguasai dunia. Konon, seperti yang sering dikisahkan Tala, ini dikarenakan pada masa lalu dewi kehidupan, Te Fiti, yang bersemayam di tengah samudera, kehilangan simbol hati yang berhasil dicuri Maui, manusia separuh dewa. Sejak peristiwa itu, alam menjadi sulit dan keras, penuh amarah.
Itulah momen di mana Moana dirasa sudah siap, kemudian “dipilih” oleh laut untuk menjalankan misi mulia mengembalikan hati keharibaan dewi Te Fiti. Moana akhirnya mengikuti kata hatinya selama ini untuk mengarungi samudera luas. Untuk selanjutnya silakan nonton sendiri filmnya ya…
Satu pesan menarik dari banyak pesan bagus dalam film ini adalah, jangan kita melupakan leluhur. Ya, agak unik dibanding pesan-pesan Disney sebelumnya. Saya jadi ingat, pada saat masa kontemplasi setelah usaha kopi pertama saya pecah kongsi, sebelum lahir Ranah Kopi; saya bertemu dengan Erbe Sentanu, pengarang Quantum Ikhlas. Pertanyaan pertamanya kepada saya adalah, asal saya dari mana, dan kapan terakhir saya pulang kampung. Ketika saya beritahu bahwa saya belum pernah pulang kampung ke Sumatera Barat sana, ia langsung terkejut. Dan langsung memberikan PR kepada saya sebelum membuka usaha berikutnya, yaitu segera berkunjung ke kampung halaman, silaturahmi dengan kerabat orang tua dan garis keturunan ke atas, serta berziarah ke makam-makam leluhur.
Mas Nunu, begitu panggilan akrabnya, mengatakan, bangsa Indonesia kondisinya kacau seperti sekarang ini, salah satunya adalah karena kualat dengan leluhur. Terus terang saya cukup kaget dengan analisanya. Kita tidak pernah mendoakan, lanjutnya, apalagi berziarah ke makam-makam leluhur kita. Kita menganggap leluhur kita terbelakang, dengan menyatakan mereka penganut animisme-dinamisme. Dan beberapa lagi kenyataan perlakuan buruk kita terhadap leluhur.
Konsep garis leluhur mencuat lagi beberapa bulan lalu saat berkenalan dengan seorang budayawan dan sejarawan dari Jogja, Herman Janutama, penulis buku kontroversial, Majapahit Kerajaan Islam. Malah tidak cuma “jangan melupakan”, kita dianjurkan menelusuri garis leluhur. Salah satu saran beliau, runut leluhur kita, minimal tujuh lapis ke atas. Menurutnya, karakter, bakat, passion dan bahkan misi hidup seseorang, sangat besar kemungkinan berulang persis ke generasi ketujuh.
Dalam kasus saya, saya coba runut dari garis ayah, ternyata ayah dari ayah saya adalah seorang pedagang di Padang sana. Mungkin karena itu passion wirausaha mengalir dalam darah saya. Wallahua’lam.
Percaya tidak percaya, memang nampaknya sunatullah-nya seperti itu. Pepatah juga bilang, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ini selaras dengan buku yang saya tulis tahun 2013 lalu, Follow Your Passion. Banyak sekali yang bertanya, bagaimana cara mengenali atau mengetahui passion kita. Nah, dengan ini konfirm saya dapat satu lagi cara agar kita bisa mengetahui passion kita tersebut. Dengan merunut jalur keturunan leluhur kita, insyaallah kita menemukan, minimal mendekati passion kita. Anda mau mencoba? 🙂
.
Depok, 9 Desember 2016
Owner Ranah Kopi
setelah sekian lama tak berkunjung, selalu inspiratif Om Muadzin.. Buku “Follow your Passion” Kece..
Terimakasih mas udah mampir 🙂