Wasiat Kopi Bang Rai [Ranah Kopi’s Untold Story]

Sebuah twit singkat seorang kawan membuat soreku yang cerah, sontak menjadi kelabu: RIP Rai Bangsawan.

***

Sudah tiga hari berlalu setelah keputusanku keluar dari usaha kopiku yang berpartner dengan seorang rekan, Semerbak Coffee. “Kok aku jadi pengangguran gini ya,” batinku. Hari-hari yang biasa disibukkan dengan usaha kopi tersebut, tiba-tiba lenyap. Hidupku jadi terasa lengang sekali.

Mau ke mana ya aku setelah ini? Apakah tetap berbisnis kopi? Atau mencoba bisnis yang lain? Apakah usaha sendiri, atau bermitra lagi? Apakah bergerak di produksi atau jasa? Banyak pertanyaan berseliweran di kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan itu kulontarkan juga kepada Tuhan, berharap mendapat jawaban.

Di tengah kegalauan itu, aku putuskan memanfaatkan kondisi ini sebaik-baiknya. Kupikir-pikir, hidupku ini sibuk tanpa putus. Bayangkan. Aku lalui ini semua nyaris tanpa jeda: SD, SMP, SMA, kuliah, menjadi karyawan, lanjut berwirausaha. Ada baiknya kugunakan kesempatan ini untuk berkontemplasi. Mencari jati diriku. Jati diri bisnisku. Aku putuskan berlibur ke Jogja. Beberapa hari saja.

Singkat cerita, di malam kedua di Jogja, aku sengajakan bertemu Mas Arief Budiman, seorang kawan yang aktif di periklanan dan branding. Ia spontan mengajak jumpa setelah aku twit bahwa aku sedang di Jogja. Di sebuah kedai kopi tradisional dekat alun-alun, kami ngobrol ngalor-ngidul. Salah satu yang ia ceritakan adalah tentang sebuah gerakan yang sedang diinisiasi beberapa kawannya di bidang branding. Gerakan ini berniat mulia: mengangkat produk pedesaan agar layak jual dan layak bersaing dengan produk perusahaan besar bahkan produk luar. Spontan, aku mencetus, “Kopi bisa dong, Mas?”

“Oh, bisa,” sambutnya. “Penggeraknya nggak hanya Mas Handoko Hendroyono yang dari Jakarta, tapi juga Mas Ayip Budiman, teman yang di Bali. Nah, Mas Ayip itu bahkan punya kedai kopi, Mas.”

Pulang dari pertemuan itu, saya membatin, Could this be a sign? Pertanda bahwa saya mungkin masih bisa berkarya di dunia kopi?

***

Di suatu siang, beberapa hari setelah pulang dari Jogja, istriku minta diantar bertemu beberapa orang untuk membahas rencana penulisan filmnya yang baru. Tanpa campur tanganku, tentunya, mereka memutuskan bertemu di sebuah mal. Dan ternyata, mal yang mereka pilih adalah tempat Mas Handoko –inisiator gerakan desa tadi – berkantor. Aku tertegun. Baru tiga hari yang lalu Mas Arief bercerita tentang Mas Handoko, tiba-tiba hari ini aku seperti digiring untuk mencarinya.

Sambil menunggu istri, kusambangi kantor Mas Handoko di lantai 3. Ia tak ada di kantor, ternyata. Kutelepon ponselnya. Ah, sayang. Ia sedang ke luar kantor dan belum tahu akan kembali jam berapa. Ya sudah, memang belum jodohku mungkin. Jadi, kuputuskan duduk di salah satu kedai kopi di lantai dasar. Kuambil posisi di teras kedai, menghadap lalu-lalang pengunjung. Dan kuhabiskan waktu dengan ngopi dan membaca buku.

Selang sejam, seseorang menyapaku. Mas Handoko!

“Maaf ya, Mas. Ini baru balik habis meeting dengan klien,” ujarnya sambil menyalamiku.

Mas Handoko ikut duduk dan memesan kopi.

“Aku baru saja pecah kongsi di usaha kopiku, Mas,” aku membuka percakapan.

“Oya?!” Mas Handoko terkejut. “Kenapa?” Lalu, aku ceritakan semuanya padanya.

Setelah mendengarkan ceritaku, Mas Handoko berujar tenang, “Kalau boleh saran, jangan bikin usaha yang sama dengan usaha yang kemarin. Jangan bikin Semerbak Perjuangan, atau apalah namanya itu,” ia terkekeh. “Bikin sesuatu yang beda. Supaya orang melihat sesuatu yang lain dari kamu. Bukan sekedar memecah usaha kalian jadi dua.”

“Iya sih setuju, Mas,” aku mengangguk-angguk berusaha mengiyakan. Padahal dalam hati, berkecamuk keinginan kuat untuk mendirikan usaha sejenis. Tapi aku biarkan semua ini mengendap dulu.

Pembicaraan berlanjut. Mas Handoko cerita tentang beberapa program kolaborasi yang sedang ia jalankan. Fokus ceritanya adalah Mas Ayip dan kedai kopinya di Denpasar Bali. Saking semangatnya Mas Handoko bercerita, aku jadi sangat tertarik. Ingin sekali aku kenal Mas Ayip dan main ke kedai kopinya.

“Kebetulan, dua minggu lagi aku ke Denpasar, diundang berbicara di kelas sebuah komunitas sosial. Lokasinya di kedai kopinya Mas Ayip. Kalau mau, ikut sama aku nanti,” ujar Mas Handoko.

“Wah, mau banget aku ikut, Mas.”

“Oke, sip. Nanti aku kenalin juga sama Rai Bangsawan, partner Mas Ayip di kedai itu. Dia pembina kelompok petani kopi. Kamu harus ketemu dia!”

Could this be another SIGN?

***

Siang terik di Denpasar. Sampai juga aku di kedai kopi ini. Walaupun seharusnya aku berhemat karena sedang menganggur, aku wajibkan diriku berangkat ke Bali. Aku harus bertemu Mas Ayip. Hatiku bilang, Tuhan sedang menuntunku dengan petunjuk-petunjuk kecil, dan aku hanya mengikuti kata hatiku.

Kedai kopi ini tidak megah atau mewah. Malah terbilang sangat sederhana. Lokasinya pun tidak strategis karena agak tersembunyi di pelosok. Herannya, kedai ini ramai dikunjungi orang.

Didominasi tiang dan dinding dari bambu, serta atap daun rumbia, sebagian besar area kedai ini berupa tempat terbuka. Natural sekali.

“Kedai ini sejak awal memosisikan diri menjadi kantung kreatif (creative hub). Tempat berkumpul beberapa komunitas dan individu yang peduli dengan ide-ide tertentu. Terutama ide sosial. Jadi kafe ini terbentuk karena ada komunitas dan individu yang berkumpul di sini,” Mas Ayip menjelaskan.

Tak berapa lama, datang seorang pria berbadan tinggi besar. Rambut gondrongnya berikat. “Nah ini partner-ku di kedai ini. Rai Bangsawan. Petani kopi. Silakan kalau mau bicara tentang kopi. Ini ahlinya,” Mas Ayip memperkenalkannya. Bang Rai, demikian ia kerap disapa.

Tak berapa lama, aku sudah terlibat pembicaraan asyik dengan pria yang ternyata sangat ramah ini. Sungguh berbanding terbalik dengan penampilannya. “Tampang Rambo, hati Rinto, “ candanya tentang penampilannya.

“Aku sempat bekerja 5 tahun di perusahaan agribisnis multinasional yang berpusat di Amerika,” Bang Rai mengawali ceritanya. “Tapi kemudian aku memutuskan pulang ke Bali untuk membangun pertanian kampungku. Banyak sekali keluarga dan teman yang tidak setuju dan menyayangkan keputusanku itu. Soalnya di sana gaji besar dan fasilitasnya lumayan.”

“Apa yang membuat Bang Rai ambil keputusan untuk resign dan pulang?” tanyaku penasaran.

“Aku prihatin dengan nasib petani kopi di sini. Ini yang terjadi di Bali, dan umumnya juga terjadi di daerah lain; petani kopi, begitu juga petani komoditas lain, kadang tidak pernah mencicipi hasil kebunnya sendiri. Mereka cuma menanam kopi, tapi tidak pernah merasakan kopi yang mereka tanam.”

“Saat musim panen tiba, semua hasil dibeli tengkulak, yang kita semua tahu, bayarannya tidak besar. Malah ada pohon yang sudah diijonkan. Setelah hasil panen terjual, si petani kopi pulang ke rumah, mampir ke warung, dan keluar membawa tas kresek berisi seliter beras dan beberapa bungkus kopi saset. Padahal biji kopi hasil kebun mereka dijual berharga tinggi melalui tangan tengkulak dan trader. Ironis ya?”

Aku hanya terpaku menyimak ceritanya.

“Karena itulah aku membina kelompok-kelompok tani agar mereka bisa mandiri, skillful, dan berpengetahuan tinggi. Aku ajarkan pola tanam yang baik dan benar. Aku ajarkan teknologi pengolahan organik, pengemasan, bahkan manajemen. Aku bantu distribusi hasil produk mereka agar tidak tergantung kepada tengkulak. Aku juga coba melindungi mereka dari mafia pupuk, yang selalu memaksa mereka membeli pupuk sintetis yang telah ditentukan. Aku ajarkan mereka menggunakan pupuk organik. Selain sehat dan tidak berbahaya, pupuk organik sangat ekonomis. Tahun ini, sudah 15 tahun aku membina kelompok tani.”

Ia menyambung ceritanya. “Percaya, nggak? Aku pernah, lho, dua kali diancam dibunuh gara-gara menentang tengkulak dan mafia pupuk itu.”

“Oya, Bang? Sampai segitunya?” tanyaku.

Bang Rai mengangguk-angguk sambil terkekeh.

Ia menjeda ceritanya sejenak, lalu mengajak kami ke meja barista. “Yuk, aku bikinkan cappuccino. Biar tambah asyik ngobrolnya.”

Dinyalakannya mesin penggiling kopi. Segera terdengar desau mesin ditingkahi suara pecahnya biji kopi yang tergiling.

“Tahu nggak, Mas, kalau biji kopi kualitas terbaik Indonesia justru lebih banyak yang diekspor dibanding yang dikonsumsi lokal?” lanjutnya sambil jari tangan kananya asyik menjetik-jentikkan tungkai doser, menggelontorkan bubuk kopi dari mesin penggiling ke dalam kepala porta filter di tangan kirinya.

“Lebih dari 60 persen, lho! Dan sedihnya, biji kopi tersebut diekspor dalam bentuk bahan mentah. Green bean. Semua kualitas terbaik. Jadi, kasarnya nih, kopi yang bagus diekspor. Sisanya, yang jelek, untuk konsumsi lokal. Miris, kan?”

Kedua tangannya terus sibuk melakukan ritual pembuatan espresso; tamping, membersihkan pinggiran porta filter, lalu memasangnya pada porta head. Ia segera meletakkan satu gelas ukur kaca dan satu cangkir kecil espresso. Ia nyalakan mesin espresso kecil tersebut. Beberapa detik kemudian, mengalir krema cokelat keemasan, disusul espresso hitam mengilat, mengisi kedua wadah di bawahnya. Setelah tercapai 30 ml, ia matikan mesin espresso itu.

“Salah satu sebabnya, mungkin karena masyarakat kita terbudaya minum kopi saset. Mas tahu kan, kalau isi kopi saset itu bukan kopi yang baik? Isinya itu biji kopi sisa. Kopi asalan. Kopi cabutan. Di dalamnya, banyak biji rusak. Defect. Pecah, busuk, bolong, hitam, dan lain-lain.”

Disorongkannya cangkir espresso tadi kepadaku. “Ini kalau mau icip espresso-nya dulu.” Diambilnya gelas ukur yang berisi espresso tadi, lalu ia tuang ke dalam cangkir yang berukuran lebih besar.

“Kopi itu sehat, Mas. Tapi sayangnya, justru di masyarakat sengaja disebar mitos yang bilang kopi itu nggak sehat. Menyebabkan maag, lah. Jantung, lah. Darah tinggi. Diabetes. Aku juga gak ngerti dari mana asal mitos-mitos itu.”

Diambilnya milk pitcher dan kotak susu segar dari dalam lemari pendingin. Perlahan, dituangnya susu ke dalam pitcher. Setelah sesuai dengan jumlah yang diinginkan, ia bergerak ke arah mesin espresso. Mem-flush steam wand. Memosisikan pitcher di bawah tangkai steam wand. Lalu menyalakan steam, dan mulai mem-frothingmembuihkan– susu tersebut. Segera terdengar desis yang khas akibat beradunya aliran steam dengan permukaan susu segar.

“Jadi mungkin, mitos-mitos itu muncul karena kita selama ini minum kopi yang gak sehat tadi. Baik kopi instan atau kopi bubuk tubruk. Baik kopi campur gula, atau campur krimer. Kopi instan itu penuh zat aditif. Pengawet. Perasa. Apalagi krimernya. Tahu nggak, bahan dasar pembuat krimer itu sama dengan bahan pembuat melamin! Bisa jadi, kalau kita rutin minum krimer, lama-lama di lambung kita terbentuk mangkok melamin,” candanya.

Aku ikut terbahak. Tapi, cerita itu membuatku tertegun. Selama ini, itulah yang aku jual: kopi instan, krimer, dan gula. Spontan, aku bersyukur. Aku beruntung karena sudah keluar dari bisnis kopi instan itu.

“Tidak mungkin Tuhan menciptakan tumbuhan dan buah yang tidak baik untuk manusia. Jika dikonsumsi secara baik dan benar, kopi tidak hanya sehat, tapi juga menyehatkan. Ini sudah banyak terbukti. Ada penelitian dan kesaksiannya,” jelasnya. “Tapi, kopi seperti apa yang sehat dan menyehatkan?” Aku tahu, pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban.

Dimatikannya mesin. Dilapnya tangkai steam wand. Ia ketuk-ketuk pitcher tersebut ke atas meja bar. Lalu ia goyang pitcher itu dengan putaran berlawanan arah jarum jam. Diambilnya cangkir yang sudah berisi single shot espresso tadi dengan tangan kiri. Tangan kanannya tetap menggoyang pitcher. Tak berapa lama, dituangnya susu panas itu ke dalam cangkir. Perlahan. Dan segera ia angkat pitcher tadi begitu foam menyentuh bibir cangkir, membentuk gundukan foam susu putih dengan cincin cokelat emas yang melingkar.

Disorongkannya cangkir tersebut ke arahku. “Hot cappuccino,” tangannya mempersilakan. Cangkir itu langsung kuterima dan kuseruput tipis.

“Gimana?” tanyanya.

Aku hanya bisa mengacungkan jempol kiri sambil mengangguk-angguk, sementara tangan kanan kembali mendekatkan cangkir ke mulutku.

“Kembali lagi soal kopi sehat dan menyehatkan. Kopi yang seperti apa?” tanyanya. Tanpa menunggu jawabanku, ia berujar, “Tentu saja, kopi dengan grade terbaik. Biji kopi dengan defect terkecil. Diminumnya pun hanya kopi. Just coffee. Tanpa gula. Tanpa krimer. Bahkan, kalau bisa, minum yang freshly brewed. Yang segar. Yang baru digiling dan baru diseduh.”

Diam-diam, aku endapkan itu semua dalam hati. Bukan uang yang Bang Rai cari. Ia bekerja semata karena cinta. Cintanya pada kopi. Pada para petani. Pada tanah kelahirannya. Jika memang aku tetap ingin berkarya dengan kopi, bisakah aku mengikuti jejaknya, yang telah jelas-jelas ditunjukkan Tuhan padaku?

***

Pertemuan dengan Bang Rai telah mengubah arah hidupku. Aku memutuskan untuk mengikuti kata hati: berkarya karena cinta. Pada kopi. Dengan kopi. Dan untuk kopi.

Dua bulan setelah bertemu pria eksentrik itu, tepatnya 7 Juli 2013, berdirilah kedai kopi kami. Kami namai ia Ranah Kopi. Kami tiupkan ruh dalam kalimat sakti tagline Ranah Kopi: “Secangkir cinta Indonesia”. Jejak Bang Rai tercetak di mana-mana di kedai kami ini.

Dan di sore itu, satu tahun setelah Ranah Kopi berdiri, kuterima kabar yang mengejutkan itu: Bang Rai pergi untuk selamanya. Kurasa, tugasnya di dunia selesai sudah. Dan mungkin sebagian kecil tugasnya sudah ia wasiatkan ke pundakku.

Selamat jalan, Bang. Ternyata, satu pertemuan pun cukup untuk mengubah jalan hidup seseorang. Biar kuteruskan semangat dan perjuanganmu. Demi kejayaan kopi nusantara…

***

Depok, 20 Agustus 2016

Muadzin Jihad

Owner Ranah Kopi

*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

RaiBangsawan

Alm. Rai Bangsawan

Foto diambil dari Homegrown & Well Known: RAI BANGSAWAN – RUDOLF DETHU

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s